Minggu, 21 Februari 2010

IMAN KEPADA ALLAH

Rukun Iman yang pertama adalah Iman kepada Allah SWT. Iman kepada Allah adalah yang paling pokok dan mendasari seluruh ajaran Islam, dan ia harus diyakinkan dengan ilmu yang pasti seperti ilmu yang terdapat dalam kalimat shahadat “laa ilaaha illallah”. Ialah yang menjadi awal , inti, dan akhir dari seluruh seruan Islam sebagaimana wasiat Rasulullah saw kepada sahabat Mu’adz, ketika beliau mengutus sahabat tersebut ke negeri Yaman : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kau dari Ahli Kitab, maka hendaklah engkau mengawali da’wahmu kepada mereka ‘penyaksian bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah’. Kemudian jika mereka telah taat kepadamu, maka ajarkan lagi kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atasnya shalat lima waktu.”

Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Demikian pula dikemukakannya bukti-bukti yang pasti tentang kekuasaan-Nya bersama seluruh sifat keagungan-Nya. Bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Suci, suci daripada sifat yang serupa dengan alam. Ia tak dapat diserupakan dalam bentuk apapun juga, maka anthropomorphisme tidak dikenal dalam Islam. Ia juga tidak bersatu dengan makhluk-Nya, sebagaimana Ia tidak bertempat pada sesuatu benda yang dijadikan-Nya, sebab itu pantheisme bertentangan dengan ajaran Islam. Konsep Ketuhanan menurut Qur’an berdasarkan atas firman Allah SWT :

“ Katakanlah, Ia Allah Maha Esa. Allah-lah tempat sekalian makhluk bergantung. Tidak Ia beranak , dan tidak Ia diperanakkan. Dan tidak ada siapapun yang setara dengan-Nya”. ( QS Al Ikhlash : 1-4 )

“ Dialah Allah Tuhan kamu, tidak ada Tuhan melainkan Dia, Pencipta segala sesuatu, karena itu sembahlah Dia oleh kamu, dan Dia menguasai segala sesuatu. Dia tidak terlihat oleh pandangan mata, tetapi Dia sendiri melihat dan Dialah Dzat yang lemah lembut lagi mha mengetahui.” ( QS Al An’am : 102-103 )

Pengetahuan manusia kepada Allah SWT adalah sejalan dengan sejarahnya sendiri. Itulah pengetahuan yang pertama kali diterima oleh manusia pertama, Adam as, yang diajarkan oleh Penciptanya, dan pengetahuan itulah yang kemudian diajarkan kepada anak cucunya. Bahkan manusia telah menyatakan imannya kepada Allah SWT sejak dia di alam arwah. Firman Allah SWT :

“ Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : ‘Betul ( Engkau Tuhan kami ), kami menjadi saksi.” ( QS Al A’raf : 172 )

Dalam sejarah purba, manusia jahiliah mengenal juga Allah. Mereka mengerti bahwa yang menjadikan alam semesta dan yang harus disembah ialah Dzat yang bernama Allah itu. Qur’an mengungkapkan :

“ Katakanlah! Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa ( menciptakan ) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka menjawab : “Allah”. Maka katakanlah : ‘Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” ( QS Yunus : 31 )

“ Dan jika kamu Tanya mereka itu ( orang-orang jahiliah ), siapakah yang menjadikan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab: ‘yang menjadikannya ialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.” ( QS Az Zuhruf : 9 )

Demikianlah pengakuan orang-orang jahiliah! Tetapi mengapa mereka menyembah juga berhala-berhala? Mereka menjawab bahwa patung-patung dan berhala-berhala yang mereka sembah itu adalah semata-mata berfungsi sebagai makelar-makelar dalam menyembah Allah dan untuk mendekatkan mereka kepada-Nya. Qur’an mengungkapkan jawaban mereka dalam firman Allah SWT :

“ Tidaklah kami menyembah mereka itu ( berhala-berhala ), melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepeda Allah, sehingga menjadi dekat.” ( QS Az Zumar : 3 )

Dalam kehidupan yang dianggap modern sekarang banyak kita jumpai hal-hal yang hakekatnya sama dengan keadaan manusia jahiliah dahulu. Menurut cara yang primitif, mereka menyembah patung-patung, berhala-berhala, pohon-pohon, gunung-gunung, sungai-sungai dan sebagainya dengan dalih sebagai perantara dalam menyembah Allah SWT. Dalam kehidupan orang-orang yang menamakan dirinya modern, cara itu nampak pada penghormatan-penghormatan pada monumen-monumen, keris-keris pusaka, tongkat-tongkat keramat, makam-makam dan sebagainya. Sebagian mereka mengambil dukun-dukun sebagai tempat konsultasi tentang berbagai masalah pribadi, social, ekonomi, politik, karir dan kedudukan-kedudukan penting dalam negara dan pemerintahan. Bahkan ada yang mengambil burung perkutut sebagai tempat konsultasinya. Semua itu hakekatnya satu ialah perbuatan syirik, mempersekutukan Allah SWT, dosa yang paling besar.

Islam memandang perbuatan semacam itu sebagai perbuatan hina akibat kebodohan. Bukankah manusia telah diciptakan pada martabat yang paling tinggi di antara seluruh makhluk di alam semesta ini ? Dengan perbuatan syirik, berarti dia telah menjatuhkan martabat kemanusiaannya yang tinggi. Sebab dia menghambakan diri kepada alam, suatu aniaya kepada diri sendiri. Itulah sebabnya manusia harus langsung kepada Tuhan tanpa menggunakan makelar-makelar sebagai perantara. Karena itu, Islam mengajarkan tauhid sebagai sumber hidup dan kehidupan yang benar. Dalam menyembah, memohon dan berdo’a harus langsung dihadapkan kepada Allah SWT :

“ Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka ( jawablah ), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi ( segala ) perintahKu dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” ( QS Al Baqarah : 186 )


Metode Pembuktian Wujud Allah

Untuk membuktikan wujud Allah, Qur’an menunjukkan suatu metode yaitu dengan menyelidiki kepada kejadian manusia dan alam semesta. Alam ini adalah bukti-bukti kebenaran dan wujud Allah SWT. Filosuf Ibnu Rusyd ( 1126-1198) berkata : “Untuk membuktikan wujud Allah itu ada dua cara : yang pertama dinamakan ‘dalil al ‘inayah’ ( the proof of providence ) ; dan yang kedua dinamakan ‘dalil al ikhtira’ ( the proof of creation ).

Kesimpulan dari dalil pertama ialah bahwa sesungguhnya tentang kesempurnaan struktur susunan alam semesta ini menunjukkan adanya suatu tujuan tertentu pada alam. Dan tidaklah mungkin bahwa alam semesta yang kita lihat itu, sempurna struktur kejadiaannya adalah suatu barang yang wujudnya kebetulan, tapi pasti telah ditentukan tujuannnya, bahwa ia adalah natijah daripada hikmah Ketuhanan yang sangat dalam.
Dan mengenai dalil kedua, berkesimpulan bahwa semua yang ada ( maujud ) yang kita lihat ini adalah makhluk ( dijadikan ), utamanya pada makhluk-makhluk hidup, dimana manusia sangat lemah untuk dapat menciptakan walaupun seekor binatang kecil.
Ibnu Rusyd menunjukkan itu memberikan arti bahwa ada Tuhan yang telah menjadikan nya seluruh makhluk ini. Dalam Qur’an, surat Al Haj : 73, Allah berfirman :

“ Hai manusia, telah ditunjukkan satu perumpamaan. Sebab itu dengarkanlah! Sesungguhnya yang kamu seru selain Allah, tidak akan bisa membikin lalat, walaupun mereka bersatu menjadikannya.”

Qur’an selalu mendesak kepada manusia untuk memikirkan betapa kejadian alam semesta dengan segala isinya. Betapa langit yang tak terbatas, perjalanan bintang-bintang dan planet-planet yang serba teratur, perputaran dan pergantian musim, angin yang berhembus dan yang berarak yang tiada hentinya. Kemudian manusia disuruh menukikkan pandangannya ke bumi, betapa ia telah dihamparkan penuh dengan serba ragam kekayaan, gunung-gunung yang mencakar langit, makhluk nabati dan hewani yang serba macam jenis telah diciptakan berjodoh-jodohan. Dan akhirnya kepada diri manusia sendiri, betapa ia telah diciptakan dari setetes air mani, kemudian berbentuk segumpal darah, lalu menjadi sebentuk daging yang kemudian diberi kerangka dari tulang-tulang. Dari proses evolusi yang indah tapi unik itu akhirnya lahirlah menjadi manusia sempurna. Semuanya adalah bukti tentang eksistensi dan keagungan Allah SWT.

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil dan duduk dan dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( seraya berkata ) : Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” ( QS Ali Imran : 190-191 )

“ Apakah mereka tiada memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan, segala sesuatu yang telah dijadikan Allah ?” ( QS Al A’raf : 185 )

Selanjutnya Qur’an menegaskan bahwa Allah itulah satu-satunya Dzat yang menciptakan jagad raya ini, dan hanya Dialah yang memberikan hokum-hukum, mengatur dan memeliharanya. Andaikata ada Tuhan selain Allah, maka pastilah langit dan bumi itu hancur binasa. Sebab itu, mengapa manusia menganggap ada Tuhan selain Allah SWT ?

“ Sekiranya ada di langit dan di bumi beberapa Tuhan selain dari Allah, sungguh hancur binasalah seluruh langit dan bumi itu. Maha Suci Allah Tuhan bagi Arasy, daripada apa yang mereka sifatkan.” ( QS Al Anbiya’ : 22 )

Menurut ajaran Islam, wujud ( yang ada ) itu ada dua, yaitu : Allah dan alam. Allah ialah Khalik, Pencipta alam, dimana Dia sendiri tidak diciptakan. Existensi Allah adalah wajib, karena itu Dia adalah wajibul wujud , artinya adaNya adalah wajib. Dia tidak mungkin tidak ada. Tidak adanya Dia itu adalah mustahil. Dia suci dan berbeda dari alam dalam segala hal, “laisa kamitslihi syaiun”. Ini adalah aqidah Islam dan kaum muslimin.

Alam ialah makhluk, diciptakan oleh Allah. Tentang existensinya adalah mungkin saja, artinya boleh ada dan boleh tiada. Sebab itu ia dinamakan mumkinul wujud. Tetapi kenyataannya ia telah ada, karena itu dinamakan pula ia baru. “Baru” artinya dari tiada ke ada ( wujud ). Karena alam ini telah menjadi kenyataan, maka mestilah alam ini berpermulaan dan takhluk sepenuhnya kepada yang menjadikan dan menyebabkan wujud itu, itulah Dia Allah, Rabbul’alamin, wajibul wujud.

Yang dimaksud alam dalam ilmu tauhid ialah segala sesuatu yang dapat ditanggap oleh panca indera kita atau oleh perasaan dan pikiran kita. Dari partikel-partikel atom sampai kepada bintang-bintang raksasa, yang organis kepada yang anorganis. Seluruh jagad raya dengan isinya, juga ruang dan waktu adalah alam.

Alam itu mempunyai keadaan dan sifat-sifat khas. Pertama, ia takhluk kepada hukum gerak, berubah dan berkembang. Dari tiada lalu ada, dari kecil kepada besar, dari keadaan lemah menjadi kuat, kemudian kembali lemah lagi. Kebenaran yang diperolehnya nisbi, dan akhirnya ia mati dan musnah.
Kedua, alam itu dapat disusun atau tersusun ( murakkab ), karena ia adalah maddah ( materi ) dari susunan atom-atom dan molekul-molekul. Sebab itu pula ia berbentuk atau berwarna dan dapat diarahkan.
Ketiga, alam itu takhluk kepada ruang dan waktu ( space and time ), walaupun ruang dan waktu itu adalah alam juga.
Keempat, alam itu dapat ditanggap dengan panca indera, perasaan dan pikiran kita.
Semua keadaan dan sifat-sifat tersebut yang empat, adalah sama sekali suci daripada keadaan dan sifat-sifat Tuhan, Allah SWT.

Nilai guna dari pengetahuan kita tentang keadaan dan sifat-sifat khas alam itu ialah, bahwa segala yang dapat ditanggap oleh panca indera, dan segala yang berubah adalah tidak kekal, pasti mati dan musnah. Sebab itu janganlah ia disembah dan dipertuhankan, ia bukan Tuhan. Demikian pula segala yang takhluk kepada ruang dan waktu, ia tidak boleh dipuja karena ia bukan Tuhan. Maka Tuhan tidak boleh dipatungkan, dipahat, digambar, dan dilukis. Tuhan bukan maddah dan materi. SubstansiNya dan sifat-sifatNya tidak ada sedikitpun persamaannya dengan alam, ‘laisa kamitslihi syaiun’. Inilah akidah Islam dan kaum muslimin.

Tuhan itu ialah Allah SWT. Dia adalah Maha Esa. Dia Esa dalam segala-galanya. Esa dalam dzatNya, artinya tidak ada persamaannya dari seribu satu zat-zat yang kita kenal dalam ilmu fisika. Dia Maha Esa dalam sifat-sifatNya, sebagaimana sifat-sifat Tuhan yang terkenal dalam istilah ‘Sifat Duapuluh’. Dia Maha Esa dalam laku perbuatanNya. Dia Maha Esa dalam wujudNya, artinya hanya Allah sajalah yang wajibul wujud, yang lainnya hanya mumkinul wujud. Dia Maha Esa dalam menerima ibadah, dalam manusia berdo’a dan memohon menyampaikan maksud dan kehendaknya. Akhirnya, Dia Maha Esa dalam memberi hukum. Artinya Dialah yang satu-satunya Pemberi Hukum yang tertinggi, baik kepada alam semesta yang biasa dikenal dengan hukum alam ( law of nature ), maupun terhadap hidup dan kehidupan manusia yang disebut Syari’ah. Demikianlah Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa, Dia tidak bersyarikat dengan tiap yang ada, ‘laa syariiku lahu’.

Manfaat dari pengetahuan kita tentang keesaan Tuhan ialah manusia tidak boleh menyembah dan bertuhan selain kepada Allah SWT. Hanya Allahlah yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang tertinggi atas seluruh alam dan manusia. Dia berkuasa memuliakan dan menghinakan kepada siapa yang dikehendakiNya, Dia berkuasa memakmurkan atau menghancurkan suatu negeri yang dikehendakiNya. Tak ada suatu kekuatan yang mampu menghalangi dan mencegah kehendak dan laku perbuatanNya, karena Dia Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Karena itu, kita harus takwa kepadaNya, segala pengabdian hanya kepada Allah semata. Tegasnya, kita tidak boleh punya pilihan lain, baik secara perorangan maupun secara bersama, kita harus percaya dan patuh kepada kebenaran Hukum Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Itulah pandangan hidup dan way of life Islam dan kaum muslimin.

Untuk mempertinggi dan mempertebal iman kepada Allah, manusia diperintahkan mempelajari alam semesta, ia laksana kitab penuh khazanah dan hikmah terbuka di hadapan kita, menjadi ‘aayatun bayyinah’, bukti-bukti yang terang benderang tentang keesaan Allah SWT. Kita tidak diperkenankan memikirkan hakekat substansi Tuhan, untuk menghindari kesesatan. Masalah substansi Tuhan adalah di luar batas kemampuan rasio manusia.

Apabila manusia mau juga menyelidiki hakekat dzat Tuhan, ia diperingatkan agar mempelajari lebih dahulu dirinya sendiri sebagai objek yang terdekat yang masih penuh rahasia dan teka-teki. Pikirkanlah dirimu sendiri, apa hakekatnya.
“ Dan dalam dirimu, apakah kamu tidak perhatikan?” ( QS Ad Dzariyat : 21 )
Dalam diri manusia ada yang bernama ‘roh’. Apa roh itu? Mampukah nanusia mengetahui hakekat roh?

“ Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Jawablah, roh itu masuk urusan Tuhanku, dan kepada kamu hanya diberi pengetahuan sedikit.” ( QS Al Isra’ : 85 )

Ayat ini menentang kepada mereka yang kepala batu, bahwa sedangkan roh yang berada dalam dirimu sendiri tidak sanggup engkau mengajuk hakekatnya, apalagi hakekat substansi Allah SWT, Pencipta roh itu.
Kalaupun ada pengetahuan manusia tentang roh, tentu hanyalah sebagian kecil saja daripada gejala-gejala roh yang dikenalnya. Segi itulah yang menjadikan seseorang bertahun-tahun di Perguruan Tinggi mempelajari psychology sampai menjadi sarjana. Itulah ilmu yang sedikit diberikan Tuhan kepada manusia. Alangkah kecil rasanya manusia ini, dirinya saja sudah penuh dengan teka-teki dan rahasia yang tak terkaji olehnya sendiri. Kalau begitu betapa agungnya dzat yang menciptakan manusia itu dengan alam semesta seluruhnya. Allah Maha Besar.

Manusia dilarang memikirkan hakekat dzat Tuhan. Demikian penegasan agama, tetapi logika juga memahaminya.
Manusia sebagai bagian dari alam amat nisbi, relatif sekali sifatnya. Ia dibatasi sekali oleh ruang dan waktu. Cara berpikirnya, rasionya, logikanya bersifat sama-sama nisbi. Alalnya yang nisbi hanya sanggup berpikir dan memikirkan hal-hal yang relatif pula. Dan hasil pemikiran akal yang nisbi itu akan nisbi pula sifatnya. Hal ini dilukiskan oleh sejarah filsafat. Hari ini akal menganggap ia mendapat hakekat, untuk esok ditinggalkannya lagi, karena dianggapnya tidak benar. Akal sebagai bagian dari alam, hanya sanggup memikirkan tentang dan mengenal alam.
Allah sebagai Pencipta alam, mutlak sifatNya. Ia mengatasi ruang dan waktu. SubstansiNya, cara berpikir dan logikaNya bersifat mutlak pula, di sebelah sifat keesaan. Yang nisbi tidak sanggup mengerti ( sepenuhnya ) yang mutlak. Pengetahuan dan pengertiannya terhadap yang mutlak itu nisbi pula sifatnya. Daya yang nisbi adalah nisbi pula. Yang relatif itu hanya sanggup secara penuh memikirkan yang relative pula. Yang mutlak tidak termakan oleh akalnya seluruhnya. Pengertiannya yang mutlak hanya sekedar yang dapat diartikan oleh daya kenisbiannya. Karena itulah yang nisbi tidak sanggup mengerti sepenuhnya substansi yang mutlak, tak sanggup mengajuk rasioNya, cara berpikirNya, tak sanggup sepenuhnya membanding logikaNya.

Itulah sebabnya Nabi bersabda :

“ Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah, dan jangan kamu berpikir tentang dzatNya, niscaya kamu celaka.”

Demikianlah indahnya akidah Islam dan kaum muslimin, dibanding dengan doktrin Trinitas yang misterius lagi berbelit-belit.